NAMA : Muhammad Surya Ramadhan
NIM : 170903057
Mata
Kuliah : Teori Administrasi
Publik (C)
Quiz : Pertemuan ke-4 (kuis)
DIRTY POLICY DAN
CLEAN POLICY DALAM PEMERINTAHAN INDONESIA
Dirty policy dan
Clean policy secara sederhana dapat diartikan sebagai kebijakan yang kotor
ataupun buruk dan juga kebijakan yang bersih. Pada umumnya kedua konsep
tersebut berkaitan dengan keadaan birokrasi yang terjadi di sebuah negara. Dan
biasanya hal ini akan terlahir dari Dirty politic dan juga Clean politic. Sistem
Dirty politic adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara atau ilegal ,seperti politik
uang saat pilpres dan pilkada, menekan birokrasi ketika masih memiliki
kekuasaan, KKN dan sebagainya. Sedangkan clean politics adalah upaya yang
dilakukan untuk meraih kekuasaan dengan cara yang tidak bertentangan pada
hukum. Tidak dapat dipungkiri bahwa politik sudah menjadi hal yang kurang baik
ataupun kotor dimata masyarakat, hal ini karena akibat dari banyaknya jumlah pejabat negara
yang telah melakukan tindakan-tindakan yang merugikan negara dan masyarakat. Hughes
dan Ferlie, dkk dalam Osborne dan Gaebler, (1992) berpendapat bahwa Good
Governance memiliki kriteria yang berkemampuan untuk memacu kompetisi,
akuntabilitas, responsip terhadap perubahan, transparan, berpegang pada aturan
hukum, mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, mementingkan kualitas,
efektif dan efisien, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa,
dan terbangunnya suatu orientasi pada nilai-nilai. Dan untuk mewujudkan clean
government di Indonesia telah diatur dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat (7) UU No.
28 tahun 1999 yang berbunyi:
- Menaati
asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bersih.
- Bebas
dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
- Bebas
dari perbuatan tercela lainnya.
- Menjunjung
tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum.
Berikut ini adalah
contoh bentuk kebijakan pemerintah yang kurang baik yang berdampak kepada
kehidupan masyarakat luas. Sejak penetapan Covid-19 sebagai bencana wabah
nasional oleh Presiden Joko Widodo pada Sabtu (14/03/20) lalu, pemerintah telah
mengeluarkan sejumlah kebijakan berskala nasional. Kebijakan tersebut antara
lain adalah penetapan kelembagaan serta penanganan wabah dalam kerangka tanggap
darurat bencana di bawah kendali BNPB, kebijakan alokasi keuangan, serta
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ketiganya dilakukan pemerintah guna
mengurangi dampak buruk krisis Covid-19 di bidang sosial-ekonomi. Meskipun
begitu, pada kenyataannya cepatnya penyebaran Covid-19 menyebabkan terjadinya
“krisis kebijakan yang kompleks”, yang karenanya, muncul sejumput permasalahan
dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diantaranya terdapat empat permasalahan
utama yang melatarbelakangi krisis tersebut.yaitu Pertama, sikap
pengabaian dan kepercayaan diri berlebih pejabat pemerintah dalam merespon
ancaman Covid-19 ketika pertama kali menyebar di Wuhan, Cina. Kedua,
absennya kepemimpinan kebijakan, ditunjukkan dengan tidak jelasnya pesan
kebijakan pemerintah ke masyarakat dan pernyataan para pejabat yang sering
bertolak belakang. Ketiga, miskinnya koordinasi antarlini
pemerintahan serta tidak adanya sinergitas kebijakan, sehingga berujung pada
fragmentasi penanganan krisis di tingkat pusat maupun daerah. Akibatnya, nuansa
politisasi atas krisis Covid-19 muncul di tengah masyarakat. Keempat,
minimnya ketersediaan sumber daya dan infrastruktur dalam menangani krisis,
terutama pengadaan alat-alat pokok kesehatan.
Komentar
Posting Komentar