Langsung ke konten utama

Penerapan Sistem Meritokrasi Pada Sistem Pemerintahan Indonesia


Penerapan Sistem Meritokrasi Pada Sistem Pemerintahan Indonesia

Konsep meritokrasi pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Aristoteles dan Plato yang percaya bahwa sebuah negara seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang paling pandai, paling baik, dan paling berprestasi. Menurut Anderson (2003) meritokrasi menjamin birokrasi memiliki kinerja pelayanan publik yang mumpuni yaitu birokrasi yang mampu membuat desain program yang lebih tepat sasaran dan memberikan hasil optimal. Indonesia merupakan sebuah negara hukum sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam membentuk penyelenggara negara yang memiliki integritas yang tinggi perlu adanya hukum dibidang kepegawaian yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Adanya hukum kepegawaian ini dapat melancarkan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya. Aparatur sipil negara merupakan salah satu faktor yang mendukung adanya kelancaran proses penyelenggaraan pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yang merupakan cita-cita bangsa.Salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah penataan aparatur pemerintah yang meliputi penataan kelembagaan birokrasi pemerintahan, sistem, dan penataan manajemen sumber daya pegawai.

Dalam hal reformasi birokrasi memang Indonesia tertinggal lebih dari 40 tahun dari negara tetangga, singapura. Singapura telah menjalankan reformasi birokrasi dengan menerapkan meritokrasi dalam birokrasi sejak tahun 1971. Sedangkan di  Indonesia baru memulai menerapkan meritokrasi pada tahun 2014. Meritokrasi di Indonesia merupakan bagian dari reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi di Indonesia di awali dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan kelembagaan yaitu menyelenggarakan fungsi baru dalam Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara yang disebut sebagai urusan reformasi birokrasi. Meskipun beberapa pihak mengatakan bahwa menambahkan reformasi birokrasi setelah pendayagunaan aparatur negara merupakan hal yang tumpang tindih karena fungsi Pemberdayaan Aparatur Negara termasuk didalamnya adalah melakukan reformasi birokrasi, namun secara psikologis hal ini diperlukan di Indonesia untuk menunjukkan fungsi baru sebuah lembaga. Pendekatan kedua adalah dibentuknya lembaga non-struktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan ASN yang profesional dan berkinerja tinggi yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Upaya Menpan RB untuk membuktikan betapa seriusnya pemerintah dalam melaksanakan sistem merit yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun   2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).  UU ini secara tegas melaksanakan dan mewujudkan sistem merit dalam menata manajemen pemerintahan.  Sistem merit dalam praktik pemerintahan sudah lama dikenal dan dilaksanakan. Akan tetapi, perwujudannya jauh dari yang seharusnya terjadi.

Aparatur Sipil Negara atau yang biasa disingkat ASN merupakan keseluruhan pejabat negara yang telah memenuhi syarat tertentu. Pengaturan aparatur sipil negara ini dimuat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut dengan UU ASN) yang telah beberapa kali dilakukan perubahan diantaranya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Pertumbuhan pegawai ASN, perlu di manajemen dengan baik. Hal ini karena pegawai ASN merupakan aset negara, serta untuk menciptakan pegawai ASN yang unggul dan kompeten. Manajemen merupakan perkembangan dari pengertian administrasi yang berarti pemberian jasa atau bantuan. Manajemen dan administrasi sangat berhubungan karena manajemen itu sendiri merupakan inti dari administrasi.  Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan sistem merit bagi ASN. Hal ini tertuang dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. Sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa memberdakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan pegawai ASN yang professional, memiliki nilai dasar, bertanggung jawab, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme, jujur dan adil melalui pembinaan berdasarkan sistem prestasi kerja. Pengaturan manajemen ASN terdapat dalam Bab VIII UU ASN. Manajemen ASN selalu mengedepankan pengaturan pada pegawai agar selalu ada sumber daya ASN yang unggul dengan perkembangan jaman. Asas kesatuan merupakan bagian dari penyelenggaraan dan kebijakan manajemen ASN yang termuat dalam UU ASN. Asas ini mengharuskan ASN untuk senantiasa mengutamakan kesatuan dan persatuan bangsa. Berdasarkan Pasal 52 UU ASN dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, manajemen ASN meliputi manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Manajemen PNS terdiri dari:

a. Penyusunan dan penetapan kebutuhan

b. Pengadaan

c. Pangkat dan jabatan

d. Pengembangan karier

e. Pola karier

f. Promosi

g. Mutasi

h. Penilaian kinerja

i. Penggajian dan tunjangan

j. Penghargaan

k. Disiplin

l. Pemberhentian

m. Jaminan pension dan jaminan hari tua dan

n. Perlindungan.

Sedangkan manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian

Kerja terdiri dari:

a. Penetapan kebutuhan

b. Pengadaan

c. Penilaian kinerja

d. Penggajian dan tunjangan

e. Pengembangan kompetensi

f. Pemberian penghargaan

g. Disiplin

h. Pemutusan hubungan perjanjian kerja

i. Perlindungan

Bagian-bagian dari manajemen PNS dan PPPK diatas diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 106 UU ASN.Manajemen ASN merupakan keseluruhan upaya untuk meningkatkan profesionalisme penyelenggaraan tugas, efektivitas serta efesiensi, kewajiban dan fungsi kepegawaian yang meliputi:

a.     Perencanaan, merupakan dasar untuk melaksanakan suatu tujuan yang ingin dicapai.

b.     Pengadaan, merupakan tahap selanjutnya dari perencanaan yaitu dengan penerimaan pegawai dapat dilakukan dengan cara rekruitmen.

c.     Pengembangan kualitas, merupakan tahap selanjutnya dari pengadaan, dimana pengembangan kualitas berfungsi agar mencapai suatu hasil yang maksimal sesuai dengan tujuan.

d.     Penempatan, merupakan tahap selanjutnya dari pengembangan kualitas, pegawai ditempatkan disuatu unit tertentu yang sedang membutuhkan tenaga baru. Musanef mengatakan penempatan setiap orang di dalam organisasi perlu didasarkan kemampuan, keahlian, latar belakang pengalaman serta pendidikan yang dimilikinya.

e.     Promosi, merupakan suatu penghargaan yang diberikan pada pegawai yang telah berprestasi dan diberikan tanggung jawab yang lebih besar.

f.      Penggajian, merupakan upah atau balas jasa yang diberikan pada pegawai yang bersangkutan yang telah melaksanakan tugas pemerintahan.

g.     Kesejahteraan, merupakan pemberian kompensasi dari pemerintah terhadap pegawai pemerintahan misalnya cuti, tunjangan dan sebagainya.

h.     Pemberhentian, merupakan putusnya hubungan antara pemerintah dengan pegawai pemerintahan.

Akhir-akhir ini di Indonesia, pengisian pegawai negeri sipil masih sangat didominasi dengan sistem koneksi dan dilandasi oleh alasan politik. Praktek tersebut dalam penerimaan dan penilaian pegawai seperti ini sangatlah buruk karena tidak akan melahirkan pegawai yang memiliki profesionalitas tinggi, kreatif dan terampil. Apabila sistem koneksi ini tetap dilanjutkan oleh pemerintah, dapat mematikan kreatifitas pegawai yang memang benar-benar memiliki kualitas dalam suatu bidang tertentu. Konsep sistem merit menjadi bagian yang terpisahkan dalam pengelolaan ASN. Sistem merit ini sama dengan pengupahan yang berhubungan terkait dengan kinerja pegawai. Sistem ini bersifat objektif, penilaian objektif tersebut biasanya ukuran yang digunakan adalah ijazah pendidikan ataupun sertifikat keahlihan. Pihak-pihak yang terkait dengan terlaksananya sistem ini ialah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Disamping itu, merit sudah ada sejak lama dan telah biasa menjadi panduan dalam pemberian upah sesuai dengan kinerja yang dicapai.

Sistem merit pada dasarnya termuat dalam Pasal 51 UU ASN yang berbunyi manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan sistem merit. Sistem ini adalah konsepsi dalam manajemen SDM yang menggambarkan diterapkannya obyektivitas dalam keseluruhan semua proses dalam pengelolaan ASN yakni pada pertimbangan kemampuan dan prestasi individu untuk melaksanakan pekerjaanya (kompetensi dan kinerja). Sistem ini biasanya disandingkan dengan spoil sistem, dimana dalam penerapan manajemen SDM-nya lebih mengutamakan pertimbangan subyektif seperti alasan politik, personal, kedekatan dan pertimbangan subyektif lainnya. Bagi organisasi sistem merit mendukung keberadaan prinsip akuntabilitas yang saat ini menjadi tuntutan dalam sektor publik. Sedangkan bagi pegawai, sistem ini menjamin keadilan yang akan meningkatkan motivasi kinerja pegawai dan juga menyediakan ruang keterbukaan dalam perjalanan karir seorang pegawai.

Sistem merit harus diterapkan pada semua komponen atau fungsi dalam manajemen ASN. Semua fungsi dan komponen dalam manajemen ASN sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 (mengatur tentang manajemen PNS) dan Pasal 93 (mengatur manajemen PPPK) UU ASN harus menerapkan sistem merit ini.Demi tercapainya prinsip merit ini, perlu adanya penetapan ASN sebagai profesi yang mempunyai kewajiban mengembangkan dan mengelola serta bertanggungjawab terhadap kinerjanya.

Hambatan dalam Seleksi ASN

Sistem seleksi ASN terutama untuk Pejabat Tinggi dilakukan dengan cara yang benar. Namun sampai saat ini, seleksi jabatan tinggi baik pratama, madya maupun utama masih saja menemui beberapa hambatan.diantara beberapa hambatannya yaitu adalah:

Pertama, sebagian besar pemerintah daerah (provinsi maupun Kabupaten/Kota) tidak melaporkan status pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Tercatat ada 22 dari 34 Provinsi dan 314 Kabupaten/Kota tidak melaporkan status pengisian JPT kepada KASN. Aturan pengisian JPT adalah melalui proses pengukuhan dan jobfit (uji kesesuian). Bila dua mekanisme tersebut belum menghasilkan ASN yang layak untuk menduduki jabatan pimpinan tinggi yang lowong, maka harus diadakan seleksi terbuka dan kompetitif. Dengan tidak melaporan kepada KASN mengenai status pengisian JPT kepada KASN maka muncul potensi masalah seperti mutasi, promosi dan demosi yang tidak sesuai dengan aturan, pelaksanaan assessment atau penilaian yang tidak tepat, dan yang paling parah adalah potensi jual beli jabatan. Berdasarkan estimasi KASN, total transaksi jual beli jabatan di Indonesia tahun 2016, mencapai Rp 36,7 triliun pertahun. Praktik jual beli jabatan ini tentunya berdampak pada rendahnya kualitas pejabat tinggi di birokrasi.

Kedua, untuk mendukung diberlakukannya meritokrasi ASN di Indonesia, maka diperlukan assesment centre atau asessor yang cukup. Namun jumlah assessment centre atau assessor yang bersertifikat di Indonesia memang masih terbatas.  Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN), di tahun 2016 hanya ada sebanyak 20 lembaga  dan 210 assessor. Jumlah tersebut tentu jauh dari cukup bila dibandingkan dengan kebutuhan untuk melakukan uji kompetensi bagi pengisian sekitar 30.585 Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) di 34 Kementerian, 31 Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), 89 Lembaga Non Struktural (LNS), 34 Provinsi, dan 514 Kabupaten/Kota di Indonesia.

Ketiga, masih terbatasnya ketersediaan panitia seleksi yang kompeten dan kredibel padahal panitia seleksi memiliki peran kunci dalam melaksanakan  seleksi JPT secara terbuka objektif dan transparan. Karakter panitia seleksi yang seperti itu akan mengurangi timbulnya potensi konflik kepentingan.

Keempat, konflik kepentingan (conflict of interest) yang masih sering dijumpai dalam beberapa hasil keputusan panitia seleksi di berbagai instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. Di Indonesia masih berlaku spoil system yang merupakan kebalikan dari Merit system. Spoil system atau sering disebut sebagai patronage system adalah sistem balas jasa dimana pemenang dalam pemilihan umum memberikan imbalan kepada pendukungnya. Dalam spoil system ini artinya pengangkatan dan pemberhentian pejabat tidak didasari pada prinsip merit namun diwarnai oleh intervensi dan kepentingan-kepentingan politik. Konflik kepentingan dalam spoil system ini diperparah dengan adanya celah kelemahan dalam UU ASN No. 5 tahun 2014. Celah tersebut menyebabkan sulitnya penerapan asas netralitas ASN (terutama dalam momen pemilihan umum). Celah tersebut berupa ketentuan dalam UU ASN No. 5 tahun 2014 yang menyatakan bahwa pejabat pembina kepegawaian adalah kepala daerah, selain itu juga ketentuan yang menyatakan bahwa PNS diangkat, dipindahkan, diberhentikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Celah tersebut menjadikan ASN sulit mempraktekkan netralitas.

Kelima, kurangnya kemampuan dan kesiapan instansi pemerintah untuk melaksanakan seleksi terbuka. Data seleksi terbuka JPT (Laporan Kinerja KASN, 2016) menunjukkan bahwa masih ada 2,94% yang belum melaksanaan pengisian JPT secara terbuka di tingkat provinsi,  masih ada 23,74% yang belum melaksanaan pengisian JPT secara terbuka di tingkat Kabupaten/Kota. Belum dilaksanakannya pengisian JPT tersebut disebabkan karena belum disusunnya deskripsi tugas, kualifikasi dan standard kompetensi jabatan pimpinan tinggi yang ada, belum dilaksanakannya penilaian kinerja sesuai ketentuan, serta belum adanya data profil kompetensi pegawai.

Kelima hambatan tersebut menggambarkan perjalanan panjang yang harus ditempuh oleh Indonesia dalam hal reformasi birokrasi supaya Indonesia dapat setara dengan Singapura. Kekuatiran tentang netralitas ASN pada saat menjelang pemilu seperti yang saat ini di alami di Indonesia tidak perlu lagi terjadi apabila meritokrasi sudah diterapkan sejak awal yaitu pada tahapan seleksi ASN.  Perlu menjadi catatn bersama bahwa dalam sistem seleksi yang tidak berdasarkan pada merit system (non-merit based system), maka yang berlaku adalah praktek rasa suka dan tidak suka (Like and Dislike) dalam pemberhentian dari Jabatan Pimpinan Tinggi. Dalam kondisi seperti ini maka pengisian jabatan tinggi tidak akan berbasis prestasi terbaik ataupun kemampuan terbaik, melainkan pada hubungan-hubungan pertemanan, kekeluargaan, dan hubungan politik.

Menurut Jiwo Wungu dan Hartarto Brotoharsojo (Brotoharsojo, 2003) sistem Merit yaitu pengelolaan sumber daya manusia yang di- dasarkan pada prestasi (merit), yaitu segenap perilaku kerja pegawai dalam wujudnya “baik atau buruk”, hal mana berpengaruh langsung pada naik atau turunnya penghasilan dan/atau karir jabatan pegawai. Konsep sistem merit menurut Brotoharsojo, lebih mudah dipahami dalam tampilan bagan sebagaimana berikut ini:


Sumber: Brotoharsojo, 2003

 Berdasarkan bagan konsep pada gambar di atas menunjukkan bahwa, faktor prestasi kerja merupakan pusatnya sistem ini atau fokus kebijakan ini, dalam rangka perbaikan atau peningkatan prestasi kerja. Bila prestasi kerja baik maka pegawai tersebut akan mendapatkan reward berupa kenaikan jabatan atau penghasilan. Sedangkan apabila pegawai prestasinya buruk maka akan dikenai punisment atau sanksi yang bisa berupa pemotongan gaji atau penurunan jabatan.

Berdasarakan pengertian dan penjelasan diatas menurut saya jika dibuat kedalam bagan kerangka pemikiran akan sebagai berikut:


        Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa kapasitas calon pegawai akan sangat berpengaruh terhadap prestasi kerja ataupun kinerja yang dihasilkan oleh pegawai tersebut. Apabila kapasistas calon pegawai baik dan diterima di dalam sebuah instansi maka prestasi kerja ataupun kienrja yang hasilkan juga baik, tetapi jika kapasitas calon pegawai buruk dan diterima maka prestasi kerja ataupun kinerja yang dihasilkan juga buruk. Maka darpada itu dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatakan pegawai yang baik maka perlu adanya rekrutment yang baik pula atau menerima orang-orang yang memiliki kapasitas yang baik dan mempuni, atau the right man on the right place. Agar prestasi kerja yang ditunjukkan oleh pegawai tersebut juga baik dan akibatnya kinerja yang dihasilkan oleh instansi tempat dirinya bekerja juga meningkat, dan apa yang selama ini menjadi cita-cita pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dapat terwujud yaitu pelayan yang berkualitas dan prima.

        Selanjutnya elemen dari dari sistem merit lainnya yang dapat mempengaruhi terhadap kinerja dan kualitas pelayanan meliputi aktivitas penarikan, pengembangan, dan pemeliharaan karyawan. Sementara indikator sistem merit terkait dengan rekrutmen seleksi adalah:

  1.            perencanaan yang baik dan handal melalui teknik perekrutan kreatif dan agresif
  2.            semua yang berpartisipasi dalam program ini harus bertanggung jawab dan didefinisikan dengan baik
  3.      perekrutan melibatkan individu yang mampu dan sumber yang tepat dalam upaya untuk mendapatkan pekerja dari semua segmen masyarakat
  4.         semua pelamar diper- lakukan secara adil tanpa memandang latar belakang politik, ras, agama warna, asal etnis, jenis kelamin, status perkawinan, usia, atau cacat, serta mendapatkan imbalan yang sesuai untuk privasi mereka dan hak-hak konstitusional
  5.        seleksi didasarkan pada kemampuan, pengetahuan, dan keahlian melalui kompetisi yang adil dan terbuka bagi semua untuk memiliki kesempatan yang sama.
  6.     metode seleksi dapat digunakan untuk memastikan bahwa hanya kandidat yang mampu mendapatkan pekerjaan serta penempatan mereka pada posisi yang paling tepat
  7.       .  karyawan diterima harus dilindungi dari pilih kasih atau penipuan pada tujuan politik (Sulardi, 2005).

Kes    Kesimpulan

Sistem merit pada dasarnya termuat dalam Pasal 51 UU ASN yang berbunyi manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan sistem merit. Sistem merit ini sama dengan pengupahan yang berhubungan terkait dengan kinerja pegawai. Sistem merit harus diterapkan pada semua komponen atau fungsi dalam manajemen ASN.Sistem ini bermaksud untuk pembinaan karier pegawai dan juga untuk menghargai prestasi para pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Sistem merit menurut konsepsi disiplin ilmu merupakan suatu sistem manajemen kepegawaian yang menekankan pertimbangan dasar kompetensi bagi calon yang akan  diangkat, ditempatkan, dipromosi, dan dipensiun sesuai UU berlaku. Kompetensi calon itu mengandung arti calon harus punya keahlian  dan profesionalisme sesuai kebutuhan jabatan yang akan dipangku. Kompetensi, keahlian dan profesionalistik  calon menjadi pertimbangan utama.

Selain itu, netralitas pejabat pemerintah yang membutuhkan merupakan dasar pertimbangan pokok yang tak bisa diabaikan. Prinsip netralitas menunjukkan tak ada unsur kedekatan kepentingan, seperti keluarga, suku, daerah, almamater, agama, politik, dan konglomerasi. Selain kompetensi dan netralitas, unsur kejujuran dan loyalitas yang menekankan pada akhlak  juga menjadi pertimbangan bagi calon aparatur pemerintah, baik sipil maupun militer. Tetapi yang terjadi selama ini, sistem merit dilaksanakan, tetapi banyak dimanipulasi secara sengaja. Proses pengangkatan calon secara diam-diam dilakukan  dengan melanggar konsepsi disiplin ilmu. Kompetensi calon diganti menjadi kepentingan pemegang kekuasaan. Keahlian dan profesionalisme menjadi sebaliknya, sesuai dengan persepsi dan keinginan pemegang kekuasaan. Terkait netralitas, dalam pelaksanaannya, semua ditentukan oleh pertimbangan kedekatan calon dengan pemegang kekuasaan.

Cara melaksanakan sistem merit seperti itu berlangsung lama dalam praktik pemerintahan, lebih-lebih pada pemerintahan Orde Baru yang berlangsung hampir 32 tahun. Bahkan, sisa-sisa pemerintahan Orde Baru masih dipraktikkan sampai sekarang. Itulah sebabnya, pada 2014, dengan dipelopori Komisi II DPR, terbentuk UU ASN yang sarat dengan upaya menegakkan sistem merit ini. Tidak efektifnya pelaksanaan sistem merit salah satunya karena pendekatan kekuasaan dijalankan oleh pejabat pemerintah. Manajemen pemerintahan yang sentralistik lebih mengutamakan pendekatan kekuasaan atau otoritas yang dipegang oleh pemegang jabatan, lebih-lebih jika pemegang jabatan itu pejabat politik dari parpol. Akibatnya, semua tergantung persepsi pemegang kekuasaan. Ketegasan dan loyalitas melaksanakan UU yang ada menjadi samar-samar sesuai dengan aspirasi politik yang menjadi dasar pertimbangan pemegang kekuasaan jabatan. Politik kekuasaan inilah yang selama ini mewarnai manajemen pemerintahan kita. Manajemen pemerintahan memang tanpa kekuasaan, bukan lagi menjadi pemerintahan yang berdaulat. Namun, kekuasaan yang selalu  jadi andalan dalam manajemen pemerintahan, tanpa melihat   pendekatan lain  yang aspiratif dan humanitif, akan banyak penyimpangan.

1.                           Pendekatan kekuasaan

Pendekatan kekuasaan yang dilakukan secara subyektif dari pertimbangan pemegang jabatan bisa dihindari dengan mengendalikan emosi kekuasaan dan banyak mengamalkan pendekatan human government yang menekankan pada manajemen pemerintah berbasis penghargaan kepada faktor manusia ciptaan Tuhan yang Mulia ini. Manusia  yang diciptakan utuh oleh Tuhan  dilengkapi dengan kemampuan rasio pikir dan kalbu hati nurani yang jernih. Manusia yang punya potensi pikir yang rasional akan melahirkan calon-calon yang memiliki potensi dalam kompetensi dan profesionalitasnya.Di sinilah seharusnya sistem merit mendapat tempat pada pendekatan kekuasaan dalam manajemen yang humanitif. Dengan demikian, sistem merit bisa dijalankan sangat tergantung pada dua pihak. Pertama, calon yang akan direkrut harus kompeten, profesional, dan keahliannya sesuai dengan yang dibutuhkan, jujur dan loyal, berakhlak mulia. Kedua, pejabat pemerintah pemegang kekuasaan harus netral.

2.                          Pejabat politik-birokrat

Pendekatan kekuasaan di atas erat kaitannya dengan hubungan antara jabatan-jabatan politik dan birokrasi yang belum pernah ditata dengan baik. Pejabat politik yang berasal dari kekuatan parpol dalam sistem pemerintahan kita sudah lama kita kenal pula. Di awal kemerdekaan, ketika pemerintah melaksanakan sistem demokrasi liberal, partai-partai politik dibentuk oleh rakyat. Parpol adalah kesatuan aspirasi politik dari sekelompok rakyat yang bertujuan untuk mencapai kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan.Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang ingin dicapai itu ialah kekuasaan pemerintahan. Mulai dari zaman liberal, zaman demokrasi terpimpin, hingga era demokrasi reformasi sekarang ini, keinginan parpol untuk kekuasaan tak pernah berubah.

Oleh karena itu, manajemen pemerintahan yang aslinya ditempati para pejabat birokrasi pemerintah mulai dipimpin oleh pejabat politik dari kekuatan parpol yang berkuasa atau yang memenangi suara pemilu. Dari sinilah kehadiran jabatan politik dari partai politik memimpin birokrasi pemerintah. Pejabat birokrasi pemerintah secara otomatis jadi subordinasi atau di bawah kendali jabatan politik.Dari gambaran hubungan kedua jabatan ini, sangat sulit pejabat birokrasi lepas dari pengaruh politik pemegang jabatan politik yang menjadi atasannya.Terpengaruhnya ASN dalam proses politik banyak dijumpai di daerah-daerah ketika melaksanakan pilkada. Banyak pegawai daerah yang ikut kampanye mendukung calon yang akan memimpin mereka di pemerintah daerah. Mereka yang tak ikut mendukung jika calon tersebut menang pilkada, bisa jadi kariernya tersendat. Di sinilah netralitas aparatur menjadi masalah dalam melaksanakan sistem merit. Untuk mendukung kebijakan Menpan dan RB dalam memperkuat pelaksanaan UU No 5/2014 tentang ASN, yang harus menjalankan sistem merit secara konsekuen, dua hal yang disebutkan di atas yakni pendekatan kekuasaan pejabat dan tata hubungan pejabat politik dan pejabat birokrat perlu dibenahi.

Daftar Pustaka:  

Buku

Ali, H. Zainuddin, 2016, Metode Penulisan Hukum, Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta.

Brotoharsojo, J. w. 2003, System Merit, Muara Kencana, Jakarta.

Hartini Sri dkk, 2014, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Cetakan Ketiga,Sinar Grafika, Jakarta. Huda

Ni’matul, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta.

Musanef, 1996, Manejemen Kepegawaian Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.

Thoha Miftah, 2010, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cetakan Keempat, Kencana, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Aparatur Sipil Negara(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

Internet

https://antikorupsi.org/id/article/sistem-merit-dalam-pemerintahan

https://unpar.ac.id/jalan-panjang-mewujudkan-meritokrasi-di-indonesia/



Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU THE NEW PUBLIC GOVERNANCE EMERGING PERSPECTIVE OF THE THEORY AND PRACTICE ON PUBLIC GOVERNANCE Milik Stephan P. Osborne

  REVIEW BUKU THE NEW PUBLIC GOVERNANCE EMERGING PERSPECTIVE OF THE THEORY AND PRACTICE ON PUBLIC GOVERNANCE       Data Buku : ·          Judul Buku : The New Public Governance emerging perspective on the theory and practice of public governance ·          Penulis   : Stephan P. Osborne ·          Penerbit : Routledge. New York ·          Tahun Terbit : 2010 ·          Jumlah Halaman : 431 Halaman Review isi Buku: Buku New Public Governance karya Stephen P. Osborne menjelaskan tentang perdebatan antara Administrasi Publik, NPM, dan NPG. Sejak munculnya karya Christopher Hood yang mengkodifikasi sifat paradigma NPM, paradigma ini dianggap menghilangkan paradigma sebelumnya dalam penyusunan kembali kemenangan sifat disiplin komunitas penelitian Anglo Amerika dalam teori dan praktik Administrasi Publik. Sejak saat itu, perdebatan tentang NPM sebagai disiplin ilmu atau paradigma sedang diperebutkan. Sebenarnya, NPM telah menjadi tahap sementara dalam evolusi dari Admini